Minggu, 25 Desember 2011

Reciprocal Teaching

Reciprocal teaching (pengajaran terbalik) pertama kali dikemukakan oleh Annemarie Palinscar dari Universitas Michigan dan Ann Brown dari Universitas Illionis, USA pada tahun 1984.[1] Pengajaran terbalik (reciprocal teaching) merupakan satu pendekatan terhadap pengajaran siswa akan strategi-strategi belajar. Menurut Nur dan Wikandari  bahwa “Reciprocal Teaching adalah pendekatan konstruktivis yang berdasar pada prinsip-prinsip pembuatan/pengajuan pertanyaan, dimana keterampilan-keterampilan metakognitif diajarkan melalui pengajaran langsung dan pemodelan oleh guru untuk memperbaiki kinerja membaca siswa yang pemahamannya rendah”.[2]
Soepraptojielwongsolo mengemukakan bahwa “Reciprocal Teaching adalah strategi belajar melalui kegiatan mengajarkan teman. Pada strategi ini siswa berperan sebagai “guru” menggantikan peran guru untuk mengajarkan teman-temannya. Sementara itu, guru berperan sebagai model yang memberi contoh, fasilitator yang memberikan kemudahan dan pembimbing yang melakukan scaffolding. Scaffolding adalah bimbingan yang diberikan oleh orang yang lebih tahu kepada orang yang belum tahu atau tidak tahu. Dengan pengajaran terbalik, guru mengajarkan siswa keterampilan-keterampilan kognitif penting dengan menciptakan pengalaman belajar, melalui pemodelan perilaku tertentu kemudian membantu siswa mengembangkan keterampilan tersebut atas usaha mereka sendiri dengan pemberian semangat, dukungan dan satu sistem scaffolding.[3]
Sedangkan menurut Palincsar dan Brown, bahwa:
“Strategi reciprocal teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan keterampilan metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca pada siswa yang berkemampuan rendah. Reciprocal teaching adalah prosedur pengajaran atau pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan kepada siswa tentang strategi-strategi kognitif serta untuk membantu siswa memahami bacaan dengan baik Dengan menggunakan pendekatan reciprocal teaching siswa diajarkan empat strategi pemahaman dan pengaturan diri spesifik, yaitu merangkum bacaan, mengajukan pertanyaan, mengklarifikasi/ menjelaskan kembali, dan memprediksi materi lanjutan. Untuk mempelajari strategi-strategi tersebut guru dan siswa membaca bahan pelajaran yang ditugaskan di dalam kelompok kecil, guru memodelkan empat keterampilan tersebut di atas”.[4]

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yamin bahwa, “mengajar menurut kaum konstruktivistik bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya”.[5]Demikian juga yang dikemukakan Wina Sanjaya bahwa: “konstruktivistik adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman”.[6]
Sejalan dengan itu, Asri Budiningsih menyatakan bahwa,
“Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksikan pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal”.[7]

Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Agar siswa benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
 Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membentu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut  untuk lebih memahami jalan fikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama atau sesuai dengan kemauannya.
Menurut Piaget “mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada”.[8] Proses Asimilasi terjadi ketika seseorang menggunakan skema yang mereka miliki untuk memahami dunianya, sedangkan proses akomodasi terjadi ketika seseorang harus merubah skema yang ada untuk merespon skema yang ada untuk merespon situasi baru.
Riyanto mengemukakan tetang tujuan konstruktivisme, yakni:
“ada beberapa tujuan yang ingin diwujudkan, antara lain: 1) memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri; 2) mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya; 3) membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lengkap; 4) mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri”.[9]

Sejalan dengan itu, teori ini dapat menigkatkan pemahaman matematika siswa, sebagaimana dinyatakan oleh Jhon A. Van De Wale, bahwa:
“Teori yang paling luas diterima, yang dikenal  dengan teori konstruktivisme, menyarankan bahwa anak-anak harus aktif dalam mengembangkan pemahamannya. Teori konstruktivisme memberi kita wawasan tentang bagaimana anak-anak belajar matematika dan membimbing kita untuk menggunakan strategi pengajaran yang dimulai dengan memperhatikan kondisi anak-anak bukannya memperhatikan  kita sendiri”.[10]

Menurut teori ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri.
Trianto mengemukakan, bahwa:
“Prosedur pengajaran terbalik dilakukan pertama-tama dengan guru menugaskan siswa membaca bacaan dalam kelompok-kelompok kecil, kemudian guru memodelkan empat keterampilan (mengajukan pertanyaan, merangkum bacaan, mengklarifikasi, dan meramalkan apa yang ditulis pada bagian bacaan berikutnya). Selanjutnya guru menunjuk seorang siswa untuk menggantikan perannya sebagai guru dan bertindak sebagai pemimpin diskusi dalam kelompok tesebut, dan guru beralih peran dalam kelompok tersebut sebagai motivator, mediator, pelatih, dan memberi dukungan, umpan balik serta semangat bagi siswa.”[11]

Berikut penjelasan dari empat keterampilan tersebut, yaitu:
a.         Bertanya
Strategi ini digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi sejauhmana pemahaman pembaca terhadap bahan bacaan. Pembaca dalam hal ini siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada guru dan dirinya sendiri. Kebaikan dari tahap ini adalah siswa dapat menentukan hal-hal yang ingin diketahui, menumbuhkan minat , sekaligus berusaha memahami apa yang sedang dipelajari dan dibaca. Tahap ini juga dapat memperkuat daya analisis siswa. Dengan mempergunakan beberapa sumber/buku, siswa akan terbiasa membandingkan berbagai informasi dari sumber yang berbeda-beda.
b.        Merangkum
Untuk tahap ini, tentu sudah jelas sekali yang paling sederhana adalah meminta siswa untuk membuat ikhtisar dari teks bacaan yang telah dibaca dengan menggunakan bahasa sendiri. Dalam membuat rangkuman dibutuhkan kemampuan untuk dapat membedakan hal-hal yang penting dan hal-hal yang tidak penting.
c.         Klarifikasi/ Menjelaskan
Dalam suatu aktivitas membaca mungkin  saja seorang siswa menganggap pengucapan kata yang benar adalah hal yang terpenting walaupun mereka tidak memahami makna dari kata-kata yang diucapkan tersebut. Siswa diminta untuk mencerna makna dari kata-kata atau kalimat-kalimat yang sulit dipahami atau yang belum dikenal, apakah mereka memaknai maksud dari suatu paragraf. Setelah dianggap pemahaman siswa cukup, guru lalu menunjukkan seorang siswa menjadi “guru” untuk mengklarifikasi/menjelaskan kembali hasil pemahamannya mengenai materi yang  telah dibacanya di depan kelas.
d.        Membuat Prediksi
Pada tahap ini pembaca diajak untuk melibatkan pengetahuan yang sudah diperolehnya dahulu untuk digabungkan dengan informasi yang diperoleh dari teks yang dibaca untuk kemudian digunakan dalam mengimajinasikan kemungkinan yang akan terjadi berdasar atas gabungan informasi yang sudah dimilikinya.
Prediksi yang dibuat dapat berupa sebuah hipotesis atau gagasan aplikatif. Pembuktian prediksi tidak harus dilakukan pada saat itu namun bisa saja pada kesempatan lain. Hal ini akan memacu siswa untuk mencari jawaban atas kebenaran prediksinya. Dengan demikian tahap ini akan membiasakan siswa meningkatkan rasa ingin tahunya.
Tujuan dari Reciprocal Teaching adalah membantu siswa dengan atau tanpa kehadiran guru, lebih aktif dalam memahami tulisan. Strategi ini dipilih tidak hanya untuk memahami bacaan tetapi juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk  belajar memperhatikan pembelajaran dan pemikiran mereka sendiri. Struktur dialog dan interaksi anggota kelompok menghendaki partisipasi seluruh siswa dan memelihara hubungan baru di antara siswa dengan perbedaan kemampuan.
Pembelajaran Reciprocal Tecahing atau pengajaran terbalik terutama dikembangkan untuk membantu guru menggunakan dialog-dialog bersifat kerja sama untuk mengajarkan pemahaman-pemahaman bacaan-bacaan secara mandiri di kelas.
Kegiatan belajar mengajar dalam pembelajaran Reciprocal Teaching  mengarahkan guru untuk mengawasi siswa bekerja secara pribadi maupun kelompok dalam mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan sebagai bahan acuan dalam belajar. Dalam hal ini guru juga berusaha untuk membangkitkan motivasi bagi siswa yang kurang mampu dalam mengakses informasi tentang  materi yang akan dipelajari.
Selain itu, menurut Ruijter :
“Dalam proses pembelajaran Reciprocal Teaching guru juga  bertugas antara lain: (a) memberi perhatian pada keaktifan kelompok selama pelakasanaan kegiatan diskusi; (b) memilah batasan tugas yang akan dipecahkan oleh siswa menyediakan bahan-bahan pelengkap untuk membangkitkan motivasi belajar siswa; (c) memberi petunujuk-petunjuk kepada siswa dalam memecahkan masalah; (d) memeriksa hasil diagnosa (prediksi) yang disusun oleh siswa; (e) membantu siswa menyimpulkan hasil diagnosa yang diperolehnya”.[12]


[1] Rusmin Sianipar, Penerapan Pendekatan Reciprocal Teachig untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif Siswa pada Pokok Bahasan Lingkaran di Kelas XI SMA Negeri 1 Kualuh Selatan T.P. 2009/2010, (Medan: Perpustakaan UNIMED 2010), h. 9, t.d.
[2] Trianto, op.cit., h. 173
[3] Henny, op.cit., h.13
[4] Devi Ramadhani Srg, Penerapan Model Reciprocal Teaching untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 7 Binjai T.A. 2009/2010 pada Pokok Bahasan Kubus dan Balok, skripsi Sarjana Pendidikan, (Medan: Perpustakaan UNIMED 2010), h. 16, t.d.

[5]Yamin, op.cit, h. 3
[6] Sanjaya, op.cit., h. 264
[7] C. Asri Budininsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 61
[8] Sanjaya, op.cit., h. 124
[9] Riyanto, op.cit., h. 147
[10] Van De Wale, op.cit., h. 23
[11] Trianto, op.cit., h. 173
[12] Ramadhani , op.cit., h. 19

MODEL PEMBELAJARAN

Secara kaffah model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan suatu  hal.  Meyer, W.J.,  mengemukakan bahwa “Model adalah sesuatu yang nyata dan dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif”. Sedangkan yang dimaksud dengan model pembelajaran ada beberapa pendapat, diantaranya:[1]
Joyce mengemukakan bahwa,
“Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Selanjutnya bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai”.  
Joyce dan Weile menyatakan bahwa model pembelajaran memiliki lima unsur dasar, yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan  norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction: menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system: segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects: hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).[2]
Adapun Soekamto menyatakan maksud dari model pembelajaran adalah: “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai   tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.” Sedangkan Arends menyatakan, “istilah model pengajaran mengarah pada satu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengolahannya.”[3]
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat diambil suatu kesimpulan  bahwa yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menyajikan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dalam  mengajarkan suatu pokok bahasan (materi) tertentu harus dipilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu, dalam memilih suatu model pembelajaran harus memiliki pertimbangan-pertimbangan.
Model pembelajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya), dan sifat lingkungannya. Sebagai contoh pengklarifikasian berdasarkan tujuan adalah pembelajaran langsung, suatu model pembelajaran yang baik untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar atau topik-topik yang berkaitan dengan penggunaan alat. Tetapi ini tidak sesuai dengan konsep-konsep  matematika tingkat tinggi.


[1] Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif  (Jakarta: Kencana,  2010), h. 22
[2] I Wayan Santyasa, Model-Model Pembelajaran Inovatif. h. 7. 2007. (http://www.scribd.com/doc/51731219/Model-Model-Pembelajaran-Inovatif).
[3] Trianto, op.cit., h. 19

Kamis, 15 Desember 2011

Sistem Koordinat

tentang sistem koordinat kartesius

Rene Descartes
(Temuan Kecil Membawa Perubahan Besar)

Menurut ahli sejarah, Heroditus (450 M) menyatakan bahwa geometri berasal dari Mesir. Ilmu geometri lahir dari tradisi pengukuran tanah di tepi sungai  NIL. Pengukuran tanah senantiasa dilakukan sebagai akibat banjir yang sering terjadi. Sebuah manuskrip tua orang Mesir bertajuk Papyrus Rhind yang ditulis oleh Ahmes 200 SM—saat ini disimpan di musium London Inggris—menginformasikan tentang aturan-aturan dan rumus-rumus untuk mencari luas ladang dan isi gudang gandum yang digunakan waktu itu.
Orang mesir juga telah mengetahui bahwa bentuk Al-jabar ax + b = 0 secara geometri dapat dinyatakan sebagai garis lurus. Demikian pula dengan bentuk-bentuk pangkat dua, telah mampu merekaujudkan sebagai bentuk-bentuk seperti ellips, parabola, dan hiperbola.
Matematikawan Rane Descartes, yang lahir di sebuah Desa La Haye Prancis 1596, adalah orang yang memiliki ketertarikan pada bidang geometri ini. Descrates telah menemukan sebuah metode untuk menyajikan sebuah titik sebagai bilangan berpasangan dalam sebuah bidang datar. Bilangan-bilangan tersebut terletak pada dua garis saling tegak lurus satu dengan lainnya dan berpotongan di sebuah titik dinamakan Origin (0,0), biasanya disimbolkan dengan huruf kapital O (0,0).
Bidang itu dinamakan bidang KOORDINAT atau lebih dikenal dengan bidang CARTESIUS.
Bidang koordinat terbagi dalam 4 kwarter atauu kkuadran. Contoh, P adalah sebuah titik (3,5). Bilangan 3 dinamakan koordinat x untuk P, dan bilangan 5 dinamakan koordinat y utnuk P. Selanjutnya koordinat y disebut ordinat.
Dengan kelahiran bidang koordinat, terjadilah revolusi besar dalam bidang matematika. Dengan cerdasnya Descartes menyajikan bentuk-bentuk al-jabar yang dilahirkan oleh orang-orang Mesir dan Khawarizmi ke dalam bentuk permasalah goemetri secara sistematik.
Descartes mampu “mengahadirkan dan menjerat” pengetahuan matematika masa lampau kedalam sistem koordinatnya. Kini Al-jabarnya ornga-orang Mesir dan Khawarizmi hadir tidak lagi sebagai bentuk bangun belaka melainkan muncul sebagai bentuk yang lengkap dengan koordinatnya.
Pada tahun 1649, Ratu Cristina mengundang Descartes ke Stockholm Swedia guna mengajarinya ilmu filsafat. Dalam pandangan hidupnya, Descartes menolak untuk mempercayai segala sesuatu sampai dia bisa membangun atau menemukan landasan untuk mempercayai hal itu sebagai sebuah kebenaran. Pandangan Descartes yang paling terkenal adalah “Cagito, ego Sum” (saya berfikir oleh karenanya saya ada). Pada tehun 1650, Descartes meninggal dalam undangan Ratu Cristina di Swedia tersebut.

Happy Parenting

            Menjadi Orang Tua bukanlah tugas yang dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, lalu hasilnya dapat dilihat di depan mata saat itu juga. Namun, semua itu butuh proses, karena kita berhadapan dengan jiwa manusia yang sedang tumbuh dan menerima masukan dari berbagai arah.

LIKE FATHER, LIKE SON:
“ Buah apel jatuhnya tak jauh dari pohonya, Like Father Like Son ungkapan yang mengambarkan bahwa anak akan tumbuh seperti orangtuanya. Seperti yang kita ketahui bahwa tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor lingkungan ataupun pengasuhan”.

“Orangtua memainkan peranan utama dalam kehidupan anak. Orangtua memberikan konsep kehidupan, apa yang diperbuat mereka maka anak akan mengikuti”.

“Menjadi orangtua yang baik, tidak hanya mengatakan kepada anak kita apa yang sebaiknya atau tidak sebaiknya dilakukan oleh mereka. Tetapi, hendaknya kita memperlihatkan kepada mereka bagaimana caranya hidup dengan contoh yang nyata di depan mata mereka”.

ATURAN TIDAK HANYA UNTUK ANAK:
“Maksud sebenarnya ketika orangtua memerintahkan tau memberitahukan sesuatu kepada anaknya adalah supaya anaknya menyadari kesalahannya, tetapi pada kenyataannya yang dilakukan manusia dewasa adalah mematahkan ranting-ranting kepercayaan diri pada jiwa anak. Jika hal tersebut dibiarkan, maka anak akan kehilangan kepercayaan dirinya bahkan bisa jadi membenci dirinya sendiri”.

BELIEVE IN YOURSELF:
“Jika kita ingin berprestasi dalam kehidupan mereka, maka tugas pertama kita adalah membangun kepercayaan diri mereka. Tanpa kepercayaan diri, mereka kan merasa tidak memiliki harapan dan  merasa tak berdaya”.

tips membuat aturan di rumah:
©       Libatkan anak dalam merumuskan aturan tersebut. Buat aturan sesederhana mungkin, sehingga anak dapat dengan mudah mengingatnya.
©       Batasi jumlah aturan sehingga daftarnya tidak menjadi terlalu panjang.
©       Tinjau ulang aturan tersebut secara berkala.
©       Gunakan kalimat positif dan jelaskan maksud kalimat tersebut. Misalnya untuk membuat aturan “Jangan berteriak di dalam rumah”, sebaiknya kalimat yang kita gunakan adalah “Gunakan modus suara-dalam-rumah” atau “Use indoor voice”. Atau untuk aturan “Dilarang memukul, menendang, dan mnecubit”, akan lebih baik jika kita menggunakan kalimat “Kaki dan tangan untuk diri sendiri”, atau “Keep your hand and feet yourself”.


Pustaka: Derni, Medya. 2009. Catatan Cinta Ibu Happy Parenting. Jakarta

DEFENISI HASIL BELAJAR

Menurut  Nana Sudjana, “hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan”. Sedangkan S. Nasution berpendapat bahwa “hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga  membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar”[1]
Sedangkan menurut Cullen mengatakan bahwa,
“Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan”.[2]
           
Keller mengatakan: “Hasil belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkan oleh anak,  sedangkan usaha adalah perbuatan yang  terarah pada penyelesaian tugas-tugas belajar. Ini berarti bahwa besarnya usaha adalah indikator dari adanya motivasi, sedangkan hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dilakukan anak”.[3]
Hasil belajar juga dipengaruhi oleh intelegensi dan penguasaan awal anak tetang materi yang akan dipelajari. Ini berarti guru perlu menetapkan tujuan belajar sesuai dengan kapasitas intelegensi anak dan pecapaian tujuan belajar perlu menggunakan bahan apersepsi, yaitu bahan yang dikuasai anak sebagai bantu loncatan untuk menguasai bahan pelajaran baru. Hasil belajar juga dipengaruhi oleh adanya kesempatan yang diberikan kepada anak. Ini berarti bahwa guru perlu menyusun rancangan dan pengelolaan pembelajaran yang memungkinkan anak bebas melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klarifikasi Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.[4] Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran.
Maka dapat disimpulkan bahwa, hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Hasil belajar merupakan pengukuran terhadap apa yang telah dipelajari. Hasil belajar dimanfaatkan untuk perbaikan atau penyempurnaan proses kegiatan belajar dan mengajar. Apabila hasil belajar  telah diketahui maka dapat dilihat sejauh mana prestasi belajar yang dicapai.
Ketiga ranah di atas (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam pelajaran merupakan tiga hal yang secara perencanaan dan programatik terpisah, namun kenyataannya pada diri siswa akan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. Karena semua itu bermuara kepada anak didik, maka setelah terjadi proses internalisasi, terbentuklah suatu kpribadian yang utuh. Dan untuk semua itu diperlukan sistem lingkungan yang mendukung.


[1] Kunandar, Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembang Profesi Guru (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 276
[2] Kunandar, op.cit., h. 277
[3] Henny, op.cit., h. 9
[4] Nana Sudjana, Penilaian hasil dan Proses Belajar Mengajar  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 22

PENGERTIAN BELAJAR

Belajar merupakan proses orang memperoleh kecakapan, keterampilan, dan sikap. Belajar dimulai dari masa kecil sampai akhir hayat seseorang. Sebagaimana Rasulullaah SAW., menyatakan dalam salah satu hadistnya bahwa manusia harus belajar sejak dari ayunan hingga liang lahat. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses  belajar yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai  hasil belajar dari interaksi dari lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar  dapat didefenisikan sebagai berikut: “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri  dalam interaksi dengan lingkungannya.[1]
Sejalan dengan pendapat tersebut Winkel menyatakan bahwa, “belajar adalah suatu aktivitas mental/ psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan, dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas”.[2] Gage mendefenisikan belajar sebagai suatu proses di mana organisme berubah perilakunya diakibatkan pengalaman. Demikian juga Harold Spear mendefenisikan belajar terdiri dari pengamatan, pendengaran, membaca, dan meniru.[3]
Menurut Djamarah dan Zain bahwa, “belajar pada hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun pada kenyataanya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila, dan sebagainya.”[4] Sedangkan menurut Syah mengemukakan bahwa, “ belajar pada hakikatnya merupakan proses kognitif yang mendapat dukungan dari fungsi ranah psikomotor. Fungsi psikomotor dalam hal ini meliputi: mendengar, melihat, mengucapkan”.[5]
Demikian juga dengan Sardiman menyatakan bahwa, “belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotor”.[6]
Adapun ayat Al-Qur’an yang behubungan dengan alat-alat bersifat psiko-fisik, yaitu dalam surat An-Nahl ayat 78 Allah  berfirman:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
Artinya:      “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan af-idah (daya nalar), agar kamu bersyukur”.[7]
Sedangkan menurut Hamalik,
“Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior trhough experiencing). Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan pengubahan kelakuan”.[8]

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk mencapai perubahan tingkah laku yaitu: perubahan dalam pengetahuannya, kecakapannya, kemampuannya, dan daya kreasinya sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam Islam, penekanan terhadap signifikansi fungsi kognitif (aspek aqliah) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat penting untuk belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qilun, yatafakkarun, yubshirun, yasma’un, dan sebagainya yang terdapat dalam Al-Qur’an, merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa  manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.
Allah SWT. mewajibkan orang untuk belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Az-Zumar ayat 9 yang berbunyi:
 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ  
Artinya:      “Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya, hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.[9]
Demikian pentingnya arti daya nalar akal dalam perspektif ajaran islam, terbukti dengan dikisahkannya penyesalan para penghuni neraka karena keengganan dalam menggunakan akal mereka untuk memikirkan peringatan Allah SWT salah satu diantarany adalah untuk tidak mempersekutukan Allah SWT. Dalam surat Al-Mulk ayat 10 dikisahkan bahwa mereka berkata:
(#qä9$s%ur öqs9 $¨Zä. ßìyJó¡nS ÷rr& ã@É)÷ètR $tB $¨Zä. þÎû É=»ptõ¾r& ÎŽÏè¡¡9$# ÇÊÉÈ
Artinya:      Dan mereka berkata: Sekiranya kami mendengarkan dan memikirkan (peringatan Tuhan) niscaya kami tidak termasuk para penghuni neraka yang menyala-nyala”.[10]
Dan dengan berilmu (menggunakan akal atau belajar), manusia dapat kembali ke fitrahnya yakni perjanjian yang telah diikrarkan ketika masih di dalam sulbi nabi Adam as. Isi perjanjian tersebut di dalam surat Al-A’raf ayat 172 yang berbunyi:
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  
Artinya:           “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Selanjutnya dengan belajar Allah SWT. Akan meninggikan derajat manusia sebgaimana di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11yang berbunyi:
Æìsùötƒ... ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 
Artinya:      “...niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orang-orang beriman dan berilmu”.[11]
Ayat-ayat di atas mejelaskan bahwa manusia dilahirkan tidak memiliki pengetahuan apa-apa, oleh karena itu Allah SWT. memberikan pendengaran, penglihatan, dan daya nalar. Agar manusia dapat berfikir atau belajar memperoleh pengetahuan. Salah satu diantaranya yaitu memikirkan peringatan Allah SWT. agar tidak termasuk penghuni neraka, dan manusia dapat kembali ke fitrah.
Kemudian belajar memiliki peranan penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar. Dan belajar merupakan kewajiban bagi setiap orang beriman agar memperoleh ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan derajat kehidupan.


[1] Slmeto, op.cit., h. 2
[2] Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009), h. 5
[3] Martinis Yamin, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2008), h.122
[4] Djamarah dan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 38
[5] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 71
[6] Sardiman A.M., Interaksi & Motovasi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 21
[7] Syah, op.cit., h. 88
[8] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 27
[9] Syah, op.cit., h. 86
[10] Syah, op.cit., h. 88
[11] Syah, op.cit., h.62