Minggu, 25 Desember 2011

Reciprocal Teaching

Reciprocal teaching (pengajaran terbalik) pertama kali dikemukakan oleh Annemarie Palinscar dari Universitas Michigan dan Ann Brown dari Universitas Illionis, USA pada tahun 1984.[1] Pengajaran terbalik (reciprocal teaching) merupakan satu pendekatan terhadap pengajaran siswa akan strategi-strategi belajar. Menurut Nur dan Wikandari  bahwa “Reciprocal Teaching adalah pendekatan konstruktivis yang berdasar pada prinsip-prinsip pembuatan/pengajuan pertanyaan, dimana keterampilan-keterampilan metakognitif diajarkan melalui pengajaran langsung dan pemodelan oleh guru untuk memperbaiki kinerja membaca siswa yang pemahamannya rendah”.[2]
Soepraptojielwongsolo mengemukakan bahwa “Reciprocal Teaching adalah strategi belajar melalui kegiatan mengajarkan teman. Pada strategi ini siswa berperan sebagai “guru” menggantikan peran guru untuk mengajarkan teman-temannya. Sementara itu, guru berperan sebagai model yang memberi contoh, fasilitator yang memberikan kemudahan dan pembimbing yang melakukan scaffolding. Scaffolding adalah bimbingan yang diberikan oleh orang yang lebih tahu kepada orang yang belum tahu atau tidak tahu. Dengan pengajaran terbalik, guru mengajarkan siswa keterampilan-keterampilan kognitif penting dengan menciptakan pengalaman belajar, melalui pemodelan perilaku tertentu kemudian membantu siswa mengembangkan keterampilan tersebut atas usaha mereka sendiri dengan pemberian semangat, dukungan dan satu sistem scaffolding.[3]
Sedangkan menurut Palincsar dan Brown, bahwa:
“Strategi reciprocal teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan keterampilan metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca pada siswa yang berkemampuan rendah. Reciprocal teaching adalah prosedur pengajaran atau pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan kepada siswa tentang strategi-strategi kognitif serta untuk membantu siswa memahami bacaan dengan baik Dengan menggunakan pendekatan reciprocal teaching siswa diajarkan empat strategi pemahaman dan pengaturan diri spesifik, yaitu merangkum bacaan, mengajukan pertanyaan, mengklarifikasi/ menjelaskan kembali, dan memprediksi materi lanjutan. Untuk mempelajari strategi-strategi tersebut guru dan siswa membaca bahan pelajaran yang ditugaskan di dalam kelompok kecil, guru memodelkan empat keterampilan tersebut di atas”.[4]

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yamin bahwa, “mengajar menurut kaum konstruktivistik bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya”.[5]Demikian juga yang dikemukakan Wina Sanjaya bahwa: “konstruktivistik adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman”.[6]
Sejalan dengan itu, Asri Budiningsih menyatakan bahwa,
“Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksikan pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal”.[7]

Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Agar siswa benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
 Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membentu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut  untuk lebih memahami jalan fikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama atau sesuai dengan kemauannya.
Menurut Piaget “mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada”.[8] Proses Asimilasi terjadi ketika seseorang menggunakan skema yang mereka miliki untuk memahami dunianya, sedangkan proses akomodasi terjadi ketika seseorang harus merubah skema yang ada untuk merespon skema yang ada untuk merespon situasi baru.
Riyanto mengemukakan tetang tujuan konstruktivisme, yakni:
“ada beberapa tujuan yang ingin diwujudkan, antara lain: 1) memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri; 2) mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya; 3) membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lengkap; 4) mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri”.[9]

Sejalan dengan itu, teori ini dapat menigkatkan pemahaman matematika siswa, sebagaimana dinyatakan oleh Jhon A. Van De Wale, bahwa:
“Teori yang paling luas diterima, yang dikenal  dengan teori konstruktivisme, menyarankan bahwa anak-anak harus aktif dalam mengembangkan pemahamannya. Teori konstruktivisme memberi kita wawasan tentang bagaimana anak-anak belajar matematika dan membimbing kita untuk menggunakan strategi pengajaran yang dimulai dengan memperhatikan kondisi anak-anak bukannya memperhatikan  kita sendiri”.[10]

Menurut teori ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri.
Trianto mengemukakan, bahwa:
“Prosedur pengajaran terbalik dilakukan pertama-tama dengan guru menugaskan siswa membaca bacaan dalam kelompok-kelompok kecil, kemudian guru memodelkan empat keterampilan (mengajukan pertanyaan, merangkum bacaan, mengklarifikasi, dan meramalkan apa yang ditulis pada bagian bacaan berikutnya). Selanjutnya guru menunjuk seorang siswa untuk menggantikan perannya sebagai guru dan bertindak sebagai pemimpin diskusi dalam kelompok tesebut, dan guru beralih peran dalam kelompok tersebut sebagai motivator, mediator, pelatih, dan memberi dukungan, umpan balik serta semangat bagi siswa.”[11]

Berikut penjelasan dari empat keterampilan tersebut, yaitu:
a.         Bertanya
Strategi ini digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi sejauhmana pemahaman pembaca terhadap bahan bacaan. Pembaca dalam hal ini siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada guru dan dirinya sendiri. Kebaikan dari tahap ini adalah siswa dapat menentukan hal-hal yang ingin diketahui, menumbuhkan minat , sekaligus berusaha memahami apa yang sedang dipelajari dan dibaca. Tahap ini juga dapat memperkuat daya analisis siswa. Dengan mempergunakan beberapa sumber/buku, siswa akan terbiasa membandingkan berbagai informasi dari sumber yang berbeda-beda.
b.        Merangkum
Untuk tahap ini, tentu sudah jelas sekali yang paling sederhana adalah meminta siswa untuk membuat ikhtisar dari teks bacaan yang telah dibaca dengan menggunakan bahasa sendiri. Dalam membuat rangkuman dibutuhkan kemampuan untuk dapat membedakan hal-hal yang penting dan hal-hal yang tidak penting.
c.         Klarifikasi/ Menjelaskan
Dalam suatu aktivitas membaca mungkin  saja seorang siswa menganggap pengucapan kata yang benar adalah hal yang terpenting walaupun mereka tidak memahami makna dari kata-kata yang diucapkan tersebut. Siswa diminta untuk mencerna makna dari kata-kata atau kalimat-kalimat yang sulit dipahami atau yang belum dikenal, apakah mereka memaknai maksud dari suatu paragraf. Setelah dianggap pemahaman siswa cukup, guru lalu menunjukkan seorang siswa menjadi “guru” untuk mengklarifikasi/menjelaskan kembali hasil pemahamannya mengenai materi yang  telah dibacanya di depan kelas.
d.        Membuat Prediksi
Pada tahap ini pembaca diajak untuk melibatkan pengetahuan yang sudah diperolehnya dahulu untuk digabungkan dengan informasi yang diperoleh dari teks yang dibaca untuk kemudian digunakan dalam mengimajinasikan kemungkinan yang akan terjadi berdasar atas gabungan informasi yang sudah dimilikinya.
Prediksi yang dibuat dapat berupa sebuah hipotesis atau gagasan aplikatif. Pembuktian prediksi tidak harus dilakukan pada saat itu namun bisa saja pada kesempatan lain. Hal ini akan memacu siswa untuk mencari jawaban atas kebenaran prediksinya. Dengan demikian tahap ini akan membiasakan siswa meningkatkan rasa ingin tahunya.
Tujuan dari Reciprocal Teaching adalah membantu siswa dengan atau tanpa kehadiran guru, lebih aktif dalam memahami tulisan. Strategi ini dipilih tidak hanya untuk memahami bacaan tetapi juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk  belajar memperhatikan pembelajaran dan pemikiran mereka sendiri. Struktur dialog dan interaksi anggota kelompok menghendaki partisipasi seluruh siswa dan memelihara hubungan baru di antara siswa dengan perbedaan kemampuan.
Pembelajaran Reciprocal Tecahing atau pengajaran terbalik terutama dikembangkan untuk membantu guru menggunakan dialog-dialog bersifat kerja sama untuk mengajarkan pemahaman-pemahaman bacaan-bacaan secara mandiri di kelas.
Kegiatan belajar mengajar dalam pembelajaran Reciprocal Teaching  mengarahkan guru untuk mengawasi siswa bekerja secara pribadi maupun kelompok dalam mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan sebagai bahan acuan dalam belajar. Dalam hal ini guru juga berusaha untuk membangkitkan motivasi bagi siswa yang kurang mampu dalam mengakses informasi tentang  materi yang akan dipelajari.
Selain itu, menurut Ruijter :
“Dalam proses pembelajaran Reciprocal Teaching guru juga  bertugas antara lain: (a) memberi perhatian pada keaktifan kelompok selama pelakasanaan kegiatan diskusi; (b) memilah batasan tugas yang akan dipecahkan oleh siswa menyediakan bahan-bahan pelengkap untuk membangkitkan motivasi belajar siswa; (c) memberi petunujuk-petunjuk kepada siswa dalam memecahkan masalah; (d) memeriksa hasil diagnosa (prediksi) yang disusun oleh siswa; (e) membantu siswa menyimpulkan hasil diagnosa yang diperolehnya”.[12]


[1] Rusmin Sianipar, Penerapan Pendekatan Reciprocal Teachig untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif Siswa pada Pokok Bahasan Lingkaran di Kelas XI SMA Negeri 1 Kualuh Selatan T.P. 2009/2010, (Medan: Perpustakaan UNIMED 2010), h. 9, t.d.
[2] Trianto, op.cit., h. 173
[3] Henny, op.cit., h.13
[4] Devi Ramadhani Srg, Penerapan Model Reciprocal Teaching untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 7 Binjai T.A. 2009/2010 pada Pokok Bahasan Kubus dan Balok, skripsi Sarjana Pendidikan, (Medan: Perpustakaan UNIMED 2010), h. 16, t.d.

[5]Yamin, op.cit, h. 3
[6] Sanjaya, op.cit., h. 264
[7] C. Asri Budininsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 61
[8] Sanjaya, op.cit., h. 124
[9] Riyanto, op.cit., h. 147
[10] Van De Wale, op.cit., h. 23
[11] Trianto, op.cit., h. 173
[12] Ramadhani , op.cit., h. 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar